Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno
Sebanyak 21 Anak Tewas Kelaparan dalam Tiga Hari di Gaza
Rabu, 23 Juli 2025 15:30 WIB
Di tengah senjata dan blokade, Gaza menangis. Dalam tiga hari terakhir, 21 anak tewas karena kelaparan dan malnutrisi.
***
Di sebuah dunia yang disibukkan dengan perang wacana dan perebutan opini, Gaza kembali kehilangan suara-suara kecilnya. Suara tangis bayi yang melemah, kemudian menghilang. Hanya dalam waktu tiga hari, sebanyak 21 anak Palestina di Jalur Gaza tewas akibat malnutrisi dan kelaparan. Mereka tak mati karena peluru, tapi karena dunia memilih bungkam saat perut mereka kosong.
Tangis yang Tidak Terdengar
Dalam tiga hari terakhir, 21 anak di Jalur Gaza meninggal dunia. Bukan karena ledakan bom, bukan karena terkena rudal, melainkan karena kelaparan dan malnutrisi berat. Ini bukan kutipan dari novel distopia atau film perang. Ini kenyataan yang terjadi hari ini, di abad ke-21, di hadapan dunia yang katanya penuh simpati, tapi terlalu sibuk bersilat lidah.
Anak-anak ini meninggal dalam kondisi tubuh yang tak sanggup lagi menerima udara. Beberapa bahkan berhenti menangis karena tak punya tenaga. Gizi buruk telah merampas warna dari pipi mereka, dan sistem kesehatan Gaza yang hancur membuat tak ada harapan untuk memulihkan mereka.
Blokade dan Penghancuran Sistem Kehidupan
Sejak Oktober 2023, Israel memberlakukan blokade total terhadap Gaza. Tak ada pasokan pangan, air bersih, listrik, bahan bakar, atau obat-obatan yang masuk dengan lancar. Sistem kesehatan Gaza, yang sebelumnya sudah rapuh, kini ambruk total. Rumah sakit hanya berfungsi sebagai tempat menunggu kematian. ICU tak lagi menyala. Generator mati. Infus digantung tanpa cairan. Paramedis bekerja tanpa alat, tanpa harapan.
Dalam kondisi seperti ini, bayi dan anak-anak adalah korban pertama. Ketika asupan gizi terputus, dan susu formula tidak tersedia, tubuh mungil mereka menyerah lebih cepat. Apa yang disebut sebagai “kematian sunyi” pun terjadi: kelaparan perlahan merayap, dan tubuh kecil itu tak sanggup bertahan.
Statistik yang Seolah Tak Berarti
Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 8.000 anak telah meninggal sejak agresi besar-besaran dimulai tahun lalu. Namun dari jumlah itu, ribuan di antaranya bukan karena serangan langsung, melainkan akibat efek lanjutan seperti kelaparan, infeksi luka yang tak tertangani, dan kekurangan air bersih.
Yang terjadi dalam tiga hari terakhir hanyalah puncak dari gunung es penderitaan. Dunia mungkin mencatat angka itu sebagai statistik, tapi bagi seorang ibu yang mengubur anaknya dengan tangan kosong, angka itu adalah nama, suara, dan pelukan yang tak akan kembali.
Kemanusiaan yang Tumpul
PBB, UNICEF, WHO, dan berbagai lembaga internasional telah mengeluarkan pernyataan demi pernyataan. Namun semuanya terhenti pada kalimat: "Kami mendesak semua pihak untuk..." Tidak ada tindakan nyata yang benar-benar menyelamatkan nyawa. Diplomasi berjalan lambat, sementara kematian berjalan cepat.
Negara-negara besar saling berhitung. Mereka khawatir reputasi, khawatir sekutu, khawatir kepentingan dagang. Di saat yang sama, seorang anak Gaza meninggal setiap 10 menit, menurut data sebelumnya. Ini adalah kebiadaban global yang dilegalkan oleh kompromi politik.
Pertanyaan yang Menggantung: Siapa yang Peduli?
Apakah dunia benar-benar peduli? Atau hanya peduli jika tragedi itu datang dengan drama dan ledakan?
Di media sosial, kematian ini nyaris tak viral. Tak ada gerakan #SaveGaza yang berhasil menembus tren seperti dahulu. Dunia sibuk dengan pilpres, sepak bola, konser, dan gosip selebriti. Gaza tenggelam dalam kebisingan yang bukan untuknya.
Di hadapan blokade, genosida, dan kelaparan ini, umat manusia diuji. Dan sejauh ini, kita semua gagal.
Gaza Adalah Cermin Dunia
Gaza bukan hanya soal Palestina. Gaza adalah soal apa yang kita anggap pantas untuk diperjuangkan. Ketika anak-anak bisa mati karena lapar dan itu dianggap bukan berita besar, maka kita semua harus bertanya: Apa artinya menjadi manusia di era ini?
Anak-anak Gaza tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh tindakan. Mereka butuh dunia yang tidak takut menyebut penjajahan sebagai penjajahan, genosida sebagai genosida. Mereka butuh keadilan yang tidak ditunda.
21 anak dalam tiga hari. Dunia diam. Tapi semoga nurani kita tidak ikut mati.
Jika dunia terus membungkam suara Gaza, maka kita setidaknya harus menjadi gema bagi tangis anak-anaknya yang terputus. Jangan biarkan jumlah korban menjadi hanya angka. Jadikan mereka alasan untuk bertindak, atau paling tidak untuk bersuara.
Ditulis oleh: Lutfillah Ulin Nuha

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing
8 Pengikut

Malang, Kota Pendidikan yang Tak Pernah Kehilangan Toko Buku
Jumat, 19 September 2025 07:11 WIB
Oase Pengetahuan di Tengah Krisis Membaca
Rabu, 17 September 2025 18:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler